Rabu, 26 Januari 2011

News

Islam berasal dari bahasa arab, yaitu: Aslama-Yuslimu-Islaaman. Artinya: patuh, tunduk,menyerahkan diri dan selamat.Sedangkan menurut istilah Islam adalah "Agama yang mengajarkan manusia berserah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah untuk menuju keselamatan di dunia dan di akhirat."Yang dimaksud dengan tunduk atau berserah diri adalah mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (taqwa), berdasarkan sabda Nabi SAW: "Islam itu adalah engkau menyembah Allah,tiada engkau persekutukan Dia dengan sesuatu yang lain, engkau dirikan shalat, engkau keluarkan zakat yang difardhukan, engkau berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau tunaikan ibadah haji jika engkau sanggup pergi ke Baitullah." ( HR. Bukhori ) Rukun Islam: 1.Mengucapkan 2 kalimat Syahadat 2 .Mendirikan Shalat 3.Menunaikan Zakat 4.Shaum di bulan Ramadhan 5.Menunaikan ibadah Haji bagi yang mampu. Wallahu A'lam.

Penjelasan Tentang Islam

27 January 2011






Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan kepada-Nya, meminta ampunan kepada-Nya, dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan hawa nafsu kita dan dari kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du.


Ketahuilah, wahai saudaraku… sesungguhnya Islam ini merupakan agama seluruh rasul dari sejak rasul yang pertama Nuh ‘alaihis salam hingga yang terakhir yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap nabi dan rasul datang untuk mendakwahkan kepada agama Islam dengan makna; kepasrahan dan ketundukan kepada Allah dengan menjalani ketaatan dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas serta membebaskan diri dari kesyirikan. Tidak ada dakwah rasul dan nabi yang menyelisihi dalam perkara pokok yang agung ini. Inilah agama Islam, agama yang mengajarkan ilmu, amal, dakwah, dan kesabaran dalam menghadapi cobaan di atasnya (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, hal. 149)

Kebenaran Islam

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia pasti termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam yang telah diridhai Allah untuk hamba-hamba-Nya maka amalannya tertolak, tidak diterima. Karena agama Islam itu mengandung kepasrahan kepada Allah dalam bentuk keikhlasan -beribadah- dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Apabila seorang hamba tidak menghadap -Allah- dengan membawanya maka dia tidak datang dengan membawa sebab keselamatan dari azab Allah dan tidak membawa sesuatu yang akan dapat membuatnya berhasil menuai pahala-Nya, sedangkan semua agama selainnya adalah batil.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama -yang benar- di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan kabar dari Allah ta’ala bahwasanya tidak ada agama di sisi-Nya yang diterima oleh-Nya selain Islam; yaitu mengikuti para rasul dalam ajaran-ajaran yang mereka bawa dari Allah pada setiap masa sampai akhirnya ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dengan itu tertutuplah semua jalan kepada-Nya kecuali dari arah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang berjumpa dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memeluk agama selain syari’atnya maka tidak diterima…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/19])

Islam Untuk Segenap Manusia

Oleh sebab itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk menyeru ahli kitab dan orang-orang musyrik untuk masuk ke dalam agama Islam setelah diutusnya beliau. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ‘Apakah kalian mau masuk Islam?’. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka mendapatkan petunjuk, dan apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang serupa merupakan penunjukan yang sangat tegas mengenai keumuman pengutusan beliau -semoga salawat dan keselamatan tercurah kepadanya- kepada semua manusia sebagaimana hal itu telah diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil al-Kitab maupun as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/20])

Diantara ayat yang menunjukkan hal itu, firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad); Wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semuanya.” (QS. al-A’raaf: 158). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maha berkah Allah yang telah menurunkan al-Furqan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan bagi seluruh manusia.” (QS. al-Furqan: 1).

Dalil dari hadits, diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seorangpun di kalangan umat ini yang mendengar kenabianku, baik dia beragama Yahudi ataupun Nasrani, lalu dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim [153]). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat kandungan hukum bahwasanya semua agama telah dihapuskan pemberlakuannya dengan adanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Minhaj [2/245]). Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “…Dahulu para nabi itu diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus kepada segenap umat manusia.” (HR. Bukhari [335] dan Muslim [521], ini lafal Bukhari).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan: Suatu saat ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, kemudian ada seorang lelaki yang datang dengan mengendarai seekor onta, lantas dia berhentikan ontanya itu di masjid lalu mengikatnya. Kemudian dia berkata, “Manakah di antara kalian yang bernama Muhammad?”. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk bersandar di antara mereka. Maka kami katakan, “Ini orangnya, lelaki yang berkulit putih dan sedang bersandar.” Lalu lelaki itu pun berkata kepada beliau, “Wahai Ibnu Abdil Muthallib?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, kusambut keinginanmu.” Lelaki itu pun berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku akan bertanya kepadamu yang mungkin terlalu mengusik dirimu dalam menjawab pertanyaan itu. Maka janganlah engkau menyimpan kemarahan kepadaku disebabkan hal itu.” Nabi berkata, “Tanyakanlah apa yang kira-kira tampak perlu bagimu.” Lalu dia bertanya, “Aku bertanya kepadamu dengan menyebut nama Rabbmu dan Rabb orang-orang sebelummu, apakah benar Allah mengutusmu kepada semua umat manusia?”. Beliau menjawab, “Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah yang memerintahkanmu supaya kami menunaikan sholat lima waktu dalam sehari semalam?”. Nabi menjawab, “Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah memerintahkanmu agar kami berpuasa pada bulan -Ramadhan- ini dalam setiap tahunnya?”. Nabi menjawab, “Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah memerintahkanmu untuk memungut sedekah/zakat ini dari kalangan orang kaya di antara kami lalu kamu bagikan kepada orang miskin di antara kami?”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allahumma, benar apa yang kamu ucapkan.” Lalu lelaki itu berkata, “Aku telah beriman kepada semua ajaran yang kamu bawa. Dan aku adalah utusan dari kaumku yang ada di belakangku. Namaku Dhimam bin Tsa’labah, salah seorang kerabat Bani Sa’d bin Bakr.” (HR. Bukhari [63] dan Muslim [12], lihat Fath al-Bari [1/182-183] dan Syarh Muslim [2/25-26])

Nabi dan Rasul Terakhir

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Muhammad itu bukanlah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah seorang utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang tegas yang menunjukkan bahwa tidak ada lagi nabi sesudah beliau. Apabila tidak ada lagi nabi sesudahnya, maka itu artinya juga tidak ada lagi rasul sesudahnya, tentu lebih tidak ada lagi. Karena kedudukan kerasulan itu lebih khusus/istimewa daripada kedudukan kenabian, setiap rasul pasti nabi dan tidak sebaliknya…” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/261]).

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Perumpamaan diriku dengan para nabi seperti perumpamaan seorang lelaki yang membangun sebuah rumah lalu dia berusaha menyempurnakan dan melengkapinya kecuali tersisa satu tempat yang belum terisi batu-bata. Maka orang-orang pun mulai memasukinya dan terkagum-kagum terhadapnya, namun mereka berkata, ‘Seandainya satu tempat batu-bata ini terisi sungguh sempurna!’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akulah yang menempati tempat batu-bata itu, aku datang lalu menutup nabi-nabi.” (HR. Bukhari [3534] dan Muslim [2287], ini lafal Muslim). al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung pemberian perumpamaan dalam rangka memudahkan pemahaman dan juga menunjukkan keutamaan diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan seluruh nabi yang ada, dan ini menunjukkan bahwa dengan diutusnya beliau Allah telah menutup para rasul dan menyempurnakan syari’at-syari’at agama.” (Fath al-Bari [6/631], lihat juga penjelasan serupa oleh an-Nawawi dalam al-Minhaj [7/392])  

Islam Juga Untuk Bangsa Jin


Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Beliau -Nabi Muhammad- diutus kepada segenap jin dan semua manusia, dengan membawa kebenaran dan petunjuk, dengan membawa sinar dan cahaya.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 166). Diantara dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada bangsa jin adalah firman Allah ta’ala yang menceritakan ucapan sebagian dari mereka (yang artinya), “Wahai kaum kami, penuhilah seruan seorang da’i yang mengajak kepada Allah itu (yaitu Nabi Muhammad).” (QS. al-Ahqaf: 31) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 166 dan Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 783).

Rukun Islam

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menegaskan, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban untuk mentauhidkan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari [8] dan Muslim [16], ini lafal Muslim). Dalam jalur riwayat lain -di dalam Shahih Muslim- masih dari Ibnu Umar juga disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: kewajiban beribadah kepada Allah -semata- dan mengingkari segala sesembahan selain-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, haji ke baitullah, dan puasa Ramadhan.” (lihat Syarh Muslim [2/32])

Artikel Tentang Islam dan Budaya

27 Januari 2011


Islam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : “ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agar kam menjadi susah “. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan.


Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazanah pemikian Islam.


Arti dan Hakekat Kebudayaan


Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.


Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian )


Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.


Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).


Hubungan Islam dan Budaya


Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?


Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.


Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.


Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.


Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.


Sikap Islam terhadap Kebudayaan


Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.


Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.


Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :


Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.


Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.


Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.


Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.


Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).


Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.


Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “


Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu a’lam